PPN DAN PPNBM
Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan
nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam
bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax
(GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut
disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata
lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang
ia tanggung.
Mekanisme
pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen
sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam
perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan
pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual
produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli,
memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia
menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama
yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983
berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No.
18/2000.
Barang tidak kena PPN
• Barang
hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya,
meliputi:
1. Minyak
mentah.
2. Gas
bumi.
3. Panas
bumi.
4. Pasir
dan kerikil.
5. Batu
bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.
6. Bijih
timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan
bijih bauksit.
Barang-barang
kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat
Objek
Pajak Pertambahan Nilai
Apabila
ditinjau dari jenis penyerahan yang menjadi objek PPN, maka terdapat 6 (enam)
jenis PPN. Dari keenam jenis PPN, 2 (dua) jenis di antaranya dibatasi dengan
unsur untuk dapat mengenakan PPN, yaitu PPN Barang dan PPN Jasa.
Unsur-unsur
yang harus dipenuhi untuk dapat dikenakan PPN adalah:
1. adanya
penyerahan;
2. yang
diserahkan adalah Barang Kena Pajak (BKP);
3. yang
menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP);
4.
penyerahannya harus di Daerah Pabean, yaitu daerah Republik Indonesia;
5. PKP
yang menyerahkan harus dalam lingkungan perusahaan /pekerjaannya terhadap
barang yang dihasilkan.
Penyerahan
yang dikenakan PPN meliputi:
1.
penyerahan hak karena suatu perjanjian;
2.
pengalihan barang karena suatu perjanjian sewa-beli dan perjanjian leasing;
3.
penyerahan kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
4.
pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;
5.
penyerahan likuidasi atas aktiva yang tujuan semula tidak untuk
diperjuabelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran, sepanjang PPN sewaktu
memperoleh aktiva dapat dikreditkan menurut perundang-undangan perpajakan yang
bersangkutan;
6.
penyerahan dari cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke cabang atau
sebaliknya;
7.
penyerahan secara konsinyasi.
Menghitung
PPN Pajak Masukan
Sasaran
Pajak Pertambahan Nilai bukan harga jual atau penggantian, atau nilai impor,
atau nilai ekspor, melainkan nilai tambah atas penyerahan BKP, atau pemberian
JKP dan seterusnya. Tetapi untuk mencari nilai tambah tidak semudah diduga,
bahkan sulit, karena antara barang yang dibeli tidak harus sama dengan barang
yang dijual dan faktor lainnya. Untuk memudahkan dalam perhitungannya maka yang
ditunjuk sebagai dasar pengenaan adalah harga jual untuk PPN Barang,
penggantian untuk PPN Jasa, Nilai Impor untuk impor barang dan sebagainya.
Tetapi pelaksanaannya menimbulkan pajak berganda.
Untuk
menghindari pemungutan pajak berganda dapat dilakukan beberapa cara, yaitu:
1. menerapkan
kredit PPN atas bahan baku atau bahan pembantu termasuk faktor produksi
lainnya;
2.
mencari nilai tambah pada setiap produksi;
3.
menerapkan tarif yang berbeda-beda dengan memperhatikan tingkat tahapan
produksi seperti barang jadi, barang setengah jadi dan barang esensial;
4.
menentukan dasar pengenaan dengan memperhatikan pertambahan nilainya;
5.
menerapkan pemungutan sekali.
Mengkredit
Pajak Masukan
Yang
melatarbelakangi sistem kredit pajak adalah upaya untuk menghindari pengenaan
pajak berganda, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai bahwa sasaran pengenaannya adalah pertambahan nilai.
Sedangkan untuk menghitung besarnya pertambahan nilai untuk setiap unit
produksi adalah sulit sekali. Oleh karena itu, untuk memudahkan
(menyederhanakan) cara perhitungan pajaknya maka ditetapkan harga jual sebagai
dasar pengenaan, dengan ketentuan bahwa PPN yang terutang dan telah dibayar
sewaktu membeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikreditkan dari PPN
yang akan dibayar sewaktu melakukan penjualan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak.
Meskipun
demikian, agar tercegah adanya pengkreditan pajak yang tidak semestinya, maka
tidak setiap pajak masukan dapat dikreditkan, melainkan terbatas yang telah
memenuhi persyaratan.
Melalui
sistem pengkreditan pajak masukan tersebut, akan menghasilkan 3 (tiga)
alternatif:
1. masih
harus membayar PPN, dalam hal pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan;
2.
terjadi kelebihan pembayaran pajak, dalam hal Pajak Keluaran lebih kecil daripada
Pajak Masukan;
3. tidak
kurang bayar dan tidak terjadi kelebihan pembayaran PPN, dalam Pajak Keluaran
sama dengan Pajak Masukan.
4. Latar
Belakang Diberlakukannya Pajak Penjualan atas Barang Mewah
5. Setiap
pemungutan pajak termasuk pemungutan Pajak Pertambahan Nilai diharapkan
mencerminkan keadilan baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk mencapai
sasaran agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai mencerminkan keadilan tersebut
maka diberlakukan pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), di
samping diberlakukan tarif proporsional dan progresif.
MEKANISME
PEMBAYARAN PPN
Pembayaran
PPN dapat dilakukan dengan cara menitipkan uang pajak kepada pihak penjual
(pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak) yang telah
berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak, atau dengan cara membayarkannya secara
langsung ke negara.
1.
Pembayaran PPN dengan Menitipkan Ke Pihak Penjual
Pembayaran
PPN dengan cara menitipkan uang pembayarannya kepada pihak penjual, yaitu pihak
yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan telah berstatus
sebagai Pengusaha Kena Pajak, dilakukan dalam hal terjadi konsumsi Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh siapapun dari pihak penjual atau pihak yang
menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut. Cara seperti ini
merupakan cara yang paling umum dilakukan dan dikenal dengan mekanisme umum.
Dengan mekanisme ini, pihak penjual atau pihak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut akan mendapatkan aliran uang masuk (cash
inflow) berupa Pajak Pertambahan Nilai (Pajak Keluaran). Pajak Keluaran yang
telah diterima dan merupakan cash inflow tersebut, akan disetorkan atau tidak
disetorkan ke negara, tergantung kepada hasil pertandingan antara Pajak
Keluaran tersebut dengan Pajak Masukan atau Cash Outflow.
Pembayaran
PPN Secara Langsung ke Negara
Mekanisme
pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dengan cara membayarkan secara langsung ke
negara, dilakukan apabila:
a. Dalam
hal Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
kepada Instansi Pemerintah, dimana instansi pemerintah tidak menitipkan uang
pembayaran PPN kepada pihak penjual, melainkan langsung menyetorkannya ke
negara;
b. Dalam
hal terjadi impor Barang Kena Pajak, dimana pihak yang melakukan impor akan
membayar PPN secara langsung ke negara sebagai bagian dari persyaratan untuk
menebus Barang Kena Pajak yang diimpornya;
c. Dalam
hal terjadi pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean, dimana pihak
yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak akan menyetor sendiri PPN yang terutang
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang berfungsi sebagai Faktur Pajak
Standar;
d. Dalam
hal terjadi pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah
pabean, dimana pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud
tersebut akan menyetor sendiri PPN yang terutang dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak yang berfungsi sebagai Faktur Pajak Standar;
e. Dalam
hal terjadi kegiatan membangun bangunan yang dilakukan sendiri, apabila
persyaratan-persyaratannya dipenuhi;
f. Dalam
hal terjadi penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, apabila persyaratan-persyaratannya dipenuhi;
g. Dalam
hal SPT Masa PPN berstatus kurang bayar yang disebabkan oleh jumlah Pajak
Keluaran yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah Pajak Masukan, dimana
batas paling lambat untuk menyetorkan selisihnya (Pajak Keluaran –VS- Pajak
Masukan) adalah pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya. Terdapat
Pengusaha Kena Pajak tertentu yang Dasar Pengenaan Pajaknya menggunakan Nilai
Lain, artinya jumlah Pajak Masukannya dianggap (deemed) selalu lebih kecil
dibandingkan dengan jumlah Pajak Keluarannya, sehingga SPT Masa PPN-nya selalu
berstatus kurang bayar.
Pajak
Pertambahan Nilai
KARAKTERISTIK
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Sebagai
pajak yang dikenakan terhadap kegiatan konsumsi, Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Pajak
Obyektif
PPN
tergolong sebagai pajak yang obyektif, karena penekanannya mula-mula kepada
obyeknya terlebih dahulu, baru kemudian kepada subyeknya. Siapapun subyeknya
(masyarakat yang mampu maupun yang kurang mampu), akan dikenakan PPN, selama
mereka mengonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, di dalam daerah
pabean. Perlakuan PPN yang sama terhadap semua kelompok masyarakat inilah, baik
yang miskin maupun yang kaya, yang menimbulkan sifat tidak adil. Kelemahan ini
kemudian diatasi dengan pemberian pajak tambahan yaitu Pajak Penjualan Barang
Mewah (PPnBM) terhadap konsumsi atas BKP tertentu yang digolongkan oleh
pemerintah sebagai BKP mewah, yang umumnya hanya dikonsumsi oleh golongan
masyarakat yang telah mampu secara ekonomi.
Mekanisme
Pengkreditan
Setiap
akhir masa pajak, Pengusaha Kena Pajak akan melaporkan SPT Masa PPN yang
merupakan tempat untuk mempertandingkan antara Pajak Keluaran dengan Pajak
Masukan. Pajak Masukan menimbulkan aliran uang keluar atau cash outflow,
sedangkan pajak keluaran menimbulkan aliran uang masuk atau cash inflow. Pajak
Masukan merupakan uang muka pajak, sedangkan pajak keluaran merupakan hutang
pajak. Saldo keduanya akan saling dioffset, di dalam SPT Masa PPN, setelah masa
pajak berakhir, dan akan menghasilkan tiga kemungkinan: Pertama, akan
menghasilkan kekurangan pembayaran pajak apabila jumlah Pajak Keluaran atau Cash
Inflow melebihi jumlah Pajak masukan atau Cash Outflow; Kedua, akan
menghasilkan kelebihan pembayaran pajak apabila jumlah Pajak Masukan atau Cash
Outflow melebihi jumlah Pajak Keluaran atau Cash Inflow. Ketiga, akan
menghasilkan jumlah nihil apabila jumlah Pajak Keluaran atau Cash Inflow sama
dengan jumlah Pajak Masukan atau Cash Outflow.
Pemahaman
mengenai cash inflow untuk Pajak Keluaran dan Cash Outflow untuk Pajak Masukan
ini menjelaskan mengapa untuk transaksi penyerahan BKP/JKP kepada Instansi
Pemerintah dan ekspor akan menimbulkan kelebihan bayar PPN. Hal ini dikarenakan
Pajak Keluarannya tidak menimbulkan uang masuk (cash inflow), yang akan
bertanding dengan Pajak Masukan yang telah menimbulkan aliran uang keluar (cash
outflow). Tetapi, untuk transaksi-transaksi tertentu yang TIDAK PERNAH
menimbulkan Pajak Keluaran sehingga tidak menimbulkan aliran uang masuk (zero
cash inflow), Pajak Masukannya (cash outflow) juga tidak dapat dikreditkan,
yaitu, pertama, transaksi penyerahan bukan Barang Kena Pajak atau bukan Jasa
Kena Pajak yang tidak terutang PPN. Kedua, transaksi penyerahan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas di bidang PPN, seperti
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapat fasilitas PPN
dibebaskan, ditunda, ditangguhkan, atau ditanggung pemerintah. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk menghindari kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai.
FAKTUR
PAJAK STANDAR CACAT
Faktur
pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha kena pajak yang
melakukan penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasakena pajak atau
bukti pungutan pajak karena impor barang kena pajak yang digunakan oleh
Direktorat jenderal Pajak. Bagi pengusaha kena pajak (PKP) faktur pajak ini
merupakan bukti dari pemenuhan kewajiban perpajakannya. Bagi pembeli atau
penerima jasa faktur pajak ini digunakan sebagai sarana pengkreditan pajak
masukan.
Faktur
pajak dapat digunakan sebagai sarana pengkreditan jika faktur pajak tersebut
tidak cacat. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui bilamana faktur
pajak itu dinyatakan sebagai faktur pajak yang cacat. Berikut ini adalah
cirri-ciri faktur pajak standar:
1. Diisi
dengan data yang tidak benar
Pengisisan
data yang tidak benar bias berupa NPWP salah, nomor seri faktur pajak yang
tidak benar. Data yang tidak benar juga bias karena kesalahan penulisan nama
pembeli atau nama perusahaan yang tercantum dalam faktur pajak.
2. Diisi
tidak lengkap
Pengisian
faktur pajak standar tidak lengkap karena ada kolom atau barus yang ternyata tidak
diisi kecuali kolom “PPnBM” yang disediakan untuk diisi oleh pabrikan atau
importir Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. Pengisian tidak lengkap
dapat berupa:
• Baris
“NPWP” pembeli BKP atau penerima JKP tidak diisi
•
“jabatan” penandatangan faktur pajak tidak diisi
• Pada
baris “jumlah harga jual/penggantian/uang muka/termijn” tidak dicoret pada
bagian kalimat yang tidak perlu sebagaimana diminta dalam catatan bagian bawah
sebelah kiri.
• Tanda
tangan menggunakan cap tanda tangan
• Dalam
lampiran II butir 13 Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-549/PJ./2000
digariskan bahwa cap tanda tangan tidak diperkenankan dibubuhkan pada faktur
pajak.
3.
Pengisian atau pembetulan dilakukan dengan cara yang tidak benar
4. Faktur
pajak dibuat melampaui batas waktu yang telah ditentukan
Mengenai
batas waktu pembuatan faktur pajak akan dibahas dalam tulisan yang lain
5. Faktur
pajak dibuat oleh pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai pengusaha
kena pajak (PKP)
Berdasarkan
pasal 14 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN 1984) orang atau badan
yang tidak dikukuhkan sebagai PKP dilarang untuk membuat faktur pajak. Faktur
pajak yang dibuat oleh pengusaha non PKP secara yuridis tidak sah. Oleh karena
itu pajak masukan yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan leh PKP
pembeli atau penerima JKP. Bahkan bagi pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai
PKP namun menerbitkan faktur pajak maka menurut Ketentuan Umum Perpajakan akan
dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 39A sebagai berikut yang
intinya adalah bahwa Setiap orang yang dengan sengaja menerbitkan faktur pajak
tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana
penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda
paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan
pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6
(enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Tarif
Pajak Dan Cara Menghitung PPN/PPnBM
Berapa
tarif PPN/PPnBM ?
1. Tarif
PPN adalah 10% (sepuluh persen)
2. Tarif
PPn BM adalah serendah-rendahnya 10% (sepuluh persen) dan setinggi-tingginya
50% (lima puluh persen).
Perbedaan
kelompok tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang Kena Pajak (BKP)
yang tergolong mewah yang atas penyerahan/impor BKP-nya dikenakan PPn BM.
3. Tarif
PPN/ PPn BM atas ekspor BKP adalah 0% (nol persen).
Apa saja
yang termasuk DPP ?
1. Harga
jual/ penggantian
Adalah
nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh penjual/ pembeli jasa karena penyerahan BKP/ Jasa Kena Pajak (JKP), tidak
termasuk PPN/ PPn BM dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2. Nilai
Impor
Adalah
nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan
lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN/ PPn BM.
3. Nilai
Ekspor
Adalah
nilai berupa uang, termasuk semau biaya yang diminta oleh Eksportir.
4. Nilai
lain
Adalah
nilai yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk
menghitung pajak yang terutang.
Nilai
lain tersebut diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 642/KMK.04/1994
tanggal 29 Desember 1994 :
a. Untuk
pemakaian sendiri/ pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau
penggantian, tidak termasuk laba kotor
b. Untuk
penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata;
c. Untuk
penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
d. Untuk
persedian BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga
pasar wajar;
e. Untuk
aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan yang masih
tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar;
f. Untuk
penyerahan jasa biro perjalanan/ parawisata adalah 10% (sepuluh persen) dari
jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih;
g. Untuk
jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau
jumlah yang seharusnya ditagih.
h. Untuk
PKP Pedagang Eceran (PE) :
o PPN
yang terutang adalah sebesar 10% (sepuluh persen) x harga jual BKP.
o PPN
yang harus dibayar adalah sebesar : 10%x20%x jumlah seluruh barang dagangan.
i. Jasa
anjak piutang adalah 5% dari seluruh jumlah imbalan yang diterima berupa
service charge, provisi, dan diskon.
Bagaimana
cara menghitung PPN ?
PPN yang
terutang = tarif x DPP
PPN yang
terutang merupakan Pajak Keluaran (PK) yang dipungut oleh PKP penjual dan
merupakan Pajak Masukan bagi PKP pembeli.
Contoh :
1. PKP
"A" bulan Januari 1996 menjual tunai kepada PKP "B"
100
pasang sepatu @ Rp.100.000,00 = Rp.10.000.000,00
PPN
terutang yang dipungut oleh PKP"A"
10% x
Rp.10.000.000,00 = Rp. 1.000.000,00
Jumlah
yang harus dibayar PKP "B" = Rp.11.000.000,00
2. PKP
"B" dalam bulan Januari 1996 :
o Menjual
80 pasang sepatu @ Rp.120.000,00 = Rp. 9.600.000,00
o Memakai
sendiri 5 pasang sepatu untuk pemakaian sendiri,
DPP
adalah harga jual tanpa menghitung laba kotor, yaitu Rp 100.000,- per pasang =
Rp 500.000,00
PPN yang
terutang :
o Atas
penjualan 80 pasang sepatu
10% x
Rp.9.600.000,00 = Rp 960.000,00
o Atas
pemakai sendiri
10% x
Rp.500.000,00 = Rp 50.000,00
Jumlah
PPN terutang = Rp 1.010.000,00
3. PKP
Pedagang Eceran (PE) "C" menjual
o BKP
seharga = Rp.10.000.000,00
o Bukan
BKP = Rp. 5.000.000,00
Rp.15.000.000,00
PPN yang
terutang
10% x
Rp.10.000.000,00 = Rp. 1.000.000,00
PPN yang
harus disetor
10% x 20%
x Rp.15.000.000,00 = Rp. 300.000,00
4. PKP
"D" pabrikan yang menghasilkan mesin cuci pakaian. Mesin cuci pakaian
dikategorikan sebagai BKP yang tergolong mewah dan dikenakan PPn BM dengan
tarif sebesar 20%. Dalam bulan Januari 1996 PKP "D" menjual 10 buah
mesin cuci kepada PKP "E" seharga Rp.30.000.000,00.
o PPN
yang terutang
10% x
Rp.30.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
o PPn BM
yang terutang
20% x Rp.
30.000.000,000 = Rp 6.000.000,00
PPN dan
PPn BM yang terutang PKP "D" = Rp. 9.000.000,00
5. PKP
"E" bulan Januari 1996 menjual 10 buah mesin cuci tersebut diatas
seharga Rp.40.000.000,00
PPN yang
terutang
10% x
Rp.40.000.000,00 = Rp. 4.000.000,00
Catatan :
PKP
"E" tidak boleh memungut PPn BM, karena PKP "E" bukan
pabrikan dan PPn BM dikenakan hanya sekali.
[
Tata Cara
Pembayaran Dan Pelaporan PPN/PPnBM
Siapa
saja yang wajib membayar/menyetor & melaporkan PPN/PPnBM ?
1.
Pengusaha Kena Pajak (PKP)
2.
Pemungut PPN/PPn BM, adalah :
o KPKN
o
Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah
o
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
o
Pertamina
o BUMN/
BUMD
o
Kontraktor Bagi Hasil dan Kontrak Karya bidang Migas dan Pertambangan Umum
lainnya
o Bank
Pemerintah
o Bank
Pembangunan Daerah
o
Perusahaan Operator Telepon Selular.
Apa saja
yang wajib disetor oleh PKP dan pemungut PPN & PPnBM ?
1. Oleh
PKP adalah :
a. PPN
yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak
Keluaran.Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, bila
Pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran.
b. PPn BM
yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah.
c. PPN/
PPn BM yang ditetapkan oleh DJP dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat
Tagihan Pajak (STP).
2. Oleh
Pemungut PPN/PPn BM adalah PPN/PPn BM yang dipungut oleh Pemungut PPN/ PPn BM
Dimana
tempat pembayaran/penyetoran pajak ?
1. Kantor
Pos dan Giro
2. Bank
Pemerintah, kecuali BTN
3. Bank
Pembangunan Daerah
4. Bank
Devisa
5.
Bank-bank lain penerima setoran pajak
6. Kantor
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Khusus untuk impor tanpa LKP
Kapan
saat pembayaran/penyetoran PPN/PPnBM ?
1. PPN
dan PPn BM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat
tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak.
Contoh :
Masa Pajak Januari 1996, penyetoran paling lambat tanggal 15 Pebruari 1996.
2. PPN
dan PPn BM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus dibayar/ disetor
sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut.
3. PPN/
PPn BM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk,
dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus dilunasi pada saat
penyelesaian dokumen Impor.
4.
PPN/PPn BM yang pemungutannya dilakukan oleh:
a. a.
Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-lambatnya tanggal 7 bulan
takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. b.
Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-lambatnya
tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
c. c.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN/ PPn BM atas Impor, harus
menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan.
5. PPN
dari penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik
(BULOG), harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran
Barang (D.O) ditebus.
Catatan:
Apabila
tanggal jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka pembayaran harus
dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.
Kapan
saat pelaporan PPN/PPnBM ?
1. PPN
dan PPn BM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan
disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat selambat-lambatnya 20 hari
setelah Masa Pajak berakhir.
2. PPN
dan PPn BM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah dilunasi
segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
3. PPN
dan PPn BM yang pemungutannya dilakukan oleh :
a.
Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan selambat-lambatnya 14 hari setelah
Masa Pajak berakhir.
b.
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai selain Bendaharawan Pemerintah harus
dilaporkan selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
c.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan secara mingguan
selambat-lambatnya 7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
4. Untuk
penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPn BM
dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan
kepada KPP setempat selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Catatan :
Apabila
tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus
dilaksanakan pada hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo.
Apa
sarana yang digunakan untuk melakukan pembayaran/penyetoran pajak?
1. Untuk
membayar/menyetor PPN dan PPn BM digunakan formulir Surat Setoran Pajak yang
tersedia gratis di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan Kantor-kantor Penyuluhan
Pajak di seluruh Indonesia.
2. Surat
Setoran Pajak menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/PPnBM yang disetorkan
telah diberi teraan oleh : Bank, Kantor Pos dan Giro, atau Kantor Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai penerima setoran.
PPNBM
PPnBM
merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai. Namun demikian, mekanisme pengenaan PPnBM ini sedikit
berbeda dengan PPN. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang PPN, Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan terhadap :
1.
penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha
yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
2. impor
Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.
Dengan
demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP Mewah oleh pabrikan
(pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP Mewah. PPnBM tidak
dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Adapun fihak yang memungut
PPnBM tentu saja pabrikan BKP Mewah pada saat melakukan penyerahan atau
penjualan BKP Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP mewah dilunasi oleh
importir berbarengan dengan pembayaran PPN impor dan PPh Pasal 22 Impor.
Dasar
Pertimbangan Pengenaan PPnBM
1. perlu
keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan
konsumen yang berpenghasilan tinggi;
2. perlu
adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah;
3. perlu
adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional;
4. perlu
untuk mengamankan penerimaan negara;
Pengertian
BKP Mewah
1. bahwa
barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
2. barang
tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
3. pada
umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
4. barang
tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
5.
apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta
mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol.
Pengertian
Menghasilkan
PPnBM
dikenakan pada saat Pengusaha yang menghasilan BKP Mewah menyerahkan kepada
fihak lain. Termasuk dalam pengertian menghasilkan adalah sebagai berikut ;
1.
merakit : menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang
setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik,
perabot rumah tangga, dan sebagainya;
2.
memasak : mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain atau
tidak;
3.
mencampur : mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu
atau lebih barang lain;
4.
mengemas : menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda yang melindunginya
dari kerusakan dan atau untuk meningkatkan pemasarannya;
5.
membotolkan : memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup
menurut cara tertentu;
Tarif,
Kelompok dan Jenis BKP Mewah
Berdasarkan
Pasal 8 Undang-undang PPN, ditentukan :
1. Tarif
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan
paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).
2. Atas
ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0%
(nol persen).
3. Dengan
Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah
yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
4. Jenis Barang
yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI (PPN DAN PPN BM)
Minggu, 1
Maret 2009 22:42:17 - oleh : admin
Jatuh
tempo : Menyetor tanggal 15 bulan berikutnya
Melapor
tanggal 20 bulan berikutnya
Mata
Rantai Harga Jual Pajak Keluaran Pajak Masukan PPN
Pabrik
(PT. X) Rp 100,000 Rp 10,000 Rp 10,000
¯
Distributor
(PT. Y) Rp 250,000 Rp 25,000 Rp 10,000 Rp 15,000
¯
Agen (PT.
Q) Rp 350,000 Rp 35,000 Rp 25,000 Rp 10,000
¯
Pedagang
Besar Rp 500,000 Rp 50,000 Rp 35,000 Rp 15,000
Konsumen
Rp 50,000
Contoh
soal :
Jasa kena
pajak
PT. X
membangun outlet dengan luas bangunan 200 m2 dengan biaya Rp 500.000.000,-
Jawaban :
DPP 40% x
Rp 500.000.000 = Rp 200,000,000
PPN 10% x
Rp 200.000.000 = Rp 20,000,000
PT.
Samsung pabrik AC harga jual Rp 4.000.000,- termasuk PPN BM 20%
PPN = Rp
4.000.000 x 10% Rp 400,000
PPN BM =
Rp 4.000.000 x 20% Rp 800,000
Harga
Jual Rp 4,000,000
Yang
harus dibayar Rp 5,200,000
Nilai
Import
Cost
insurance freigh (CIF) US$ 20.000
Nilai
konversi Rp 9.500/US$
Bea masuk
20%
Jawaban :
Nilai
import = US$ 20.000,- x Rp 9.500,- Rp 190,000,000
Bea masuk
20% x Rp 190.000.000,- Rp 38,000,000
DPP Rp
228,000,000
PPN 10%
Rp 22,800,000
PPN BM 20%
Rp 45,600,000
Yang
harus dibayar Rp 68,400,000
Contoh
soal :
PT.
Korindo Motors mendapatkan tagihan dari PT. Suzuki atas pembelian mobil Rp
375.000.000,- termasuk PPN dan PPN BM 40%
PPN BM
50/150 x Rp 375.000.000,- = Rp 125,000,000
PPN
10/150 x Rp 375.000.000,- = Rp 25,000,000
Rp
150,000,000
Harga Rp
375,000,000
PPN BM Rp
(125,000,000)
PPN Rp
(25,000,000)
Rp
225,000,000
Tarif
PPnBM
KELOMPOK
BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH
BERUPA
KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
Tarif
(%) Jenis
Barang Kena Pajak
10
kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima
belas)orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala
kompresi (diesel/semidiesel), dengan semua kapasitas isi silinder;
kendaraan
bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi
selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau nyala
kompresi (diesel/semi diesel) dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2),
dengan kapasitas isi silinder tidak lebih dari 1500 cc;
25
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau
dengan nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gandar
penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan
2500 cc;
kendaraan
bermotor dengan kabin ganda (double cabin), dalam bentuk kendaraan bak terbuka
atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga) orang termasuk
pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi
diesel), dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2
(dua) gandar penggerak (4x4), dengan semua kapasitas isi silinder, dengan massa
total tidak lebih dari 5 (lima) ton.
30
kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau
nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan kapasitas isi silinder sampai
dengan 1500 cc;
kendaraan
bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau
nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak
(4x4), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.
50
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api, dengan
sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih
dari 2500 cc sampai dengan 3000 cc;
kendaraan
bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi
dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station wagon dan selain
sedanatau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan
kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 3000 cc;
kendaraan
bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi
dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel), berupa sedan atau
station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar
penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan
2500 cc; dan
semua
jenis kendaraan khusus yang dibuat untuk golf.
60
kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250 cc
sampai dengan 500 cc; dan
kendaraan
khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai, di gunung, dan
kendaraan semacam itu.
75
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi, dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station wagon dan
selain sedanatau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2)
atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder
lebih dari 3000 cc;
kendaraan
bermotor pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan
motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel) berupa sedan atau station wagon
dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak
(4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi
silinder lebih dari 2500 cc;
kendaraan
bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 500 cc;
trailer,
semi-trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah.
PPN DAN
PPn BM DALAM TATA NIAGA KENDARAAN BERMOTOR
Sehubungan
dengan adanya keragu-raguan dalam pelaksanaan ketentuan PPN di bidang tata
niaga kendaraan bermotor, dengan ini diberikan beberapa penegasan sebagai
berikut :
1. Dalam
tataniaga kendaraan bermotor, mata rantai distribusi kendaraan bermotor pada
umumnya melewati lini-lini sebagai berikut :
a. Lini I
: Importir Umum/ATPM/Industri Perakitan.
b. Lini
II : Distributor
c. Lini
III : Dealer
d. Lini
IV : Sub-Dealer/Showroom
2. Dalam
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-43/PJ.51/1989 tanggal 7 Agustus
1989 ditegaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1988, setiap lini dalam distribusi kendaraan bermotor dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP) kecuali lini IV (Sub-Dealer/Showroom) tidak
dikukuhkan sebagai PKP karena statusnya sebagai Pedagang Pengecer.
3. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 37 jo. Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994
sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59
Tahun 1999, bahwa mulai tanggal 1 Januari 1995 Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1988 tentang Pengenaan PPN atas Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang
dilakukan oleh Pedagang Besar dan penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) disamping
Jasa yang dilakukan oleh Pemborong, dinyatakan tidak berlaku.
4.
Memperhatikan harga kendaraan bermotor saat ini, maka dalam tata niaga
kendaraan bermotor tidak ada Pengusaha Kecil, karena jumlah peredaran usaha
melebihi Rp. 240.000.000,00 dalam satu tahun buku. Oleh karena itu setiap
Pengusaha pada seluruh lini distribusi kendaraan bermotor tersebut adalah
Pengusaha Kena Pajak, termasuk Sub-dealer/Showroom.
5.
Sebagai Pengusaha Kena Pajak, Pengusaha kendaraan bermotor berkewajiban untuk
melakukan hak dan kewajibannya sebagai PKP, yaitu : memungut, menyetor dan
melaporkan PPN dan/atau PPn BM yang terutang atas penyerahan kendaraan bermotor
yang dilakukannya.
6.
Diinstruksikan kepada seluruh Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk melakukan
pengawasan kepatuhan dari masing-masing pihak yang terlibat dalam
pendistribusian kendaraan bermotor yang terdaftar di KPP masing-masing.
7. Untuk
mempermudah pemahaman mata rantai distribusi kendaraan bermotor ini, dapat
digambarkan sebagai berikut:
IMPORTIR
UMUM/INDUSTRI PERAKITAN/ATPM
(PKP)
------------------------------------------------------------------------
!!
!!
!!
!!
--------------------
DISTRIBUTOR
(PKP)
---------------------
!!
!!
!!
!!
-------------
DEALER
---------------------
(PKP)
-------------
------------------------------
------------------------------------------
SUB-DEALER/SHOWROOM
(PKP)
------------------------------------------
!!
!!
!!
-------------------
KONSUMEN
-------------------
8. Untuk
memperjelas mekanisme pemungutan PPN dan PPn BM, diberikan contoh penghitungan
pada Lampiran I Surat Edaran ini.
9. Harga
Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (kendaraan
bermotor), tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-Undang Nomor 8
Tahun1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Berdasarkan
ketentuan di atas, untuk mencegah akibat ganda pengenaan PPn BM, maka dalam
menentukan Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan Barang Kena pajak yang sama
pada rantai berikutnya (sesudah"Pabrikan"/Importir), unsur PPn BM
(seperti halnya PPNnya)harus dikeluarkan dahulu
10. Dalam
hal pembelian kendaraan bermotor dengan sistim on the road (langsung atas nama
pembeli) maka Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), retribusi untuk Surat
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) dan Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor
(BPKB) tidak merupakan unsur Harga Jual yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak
sepanjang BBNKB serta retribusi untuk STNK dan BPKB tersebut tidak dicantumkan
dalam Faktur Pajak.
Diberikan
contoh perhitungan pada lampiran 2 dan 3 Surat Edaran ini.
11.
a. PPN
terutang pada saat terjadinya penyerahan kendaraan bermotor dari PKP (Importir
Umum/ATPM/Industri
Perakitan/Distributor/Dealer/Sub-Dealer/Showroom).
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan kendaraan bermotor atau
pembayaran uang muka, maka PPN terutang pada saat diterimanya pembayaran
tersebut. Jumlah PPN yang terutang pada saat pembayaran uang muka tersebut
dihitung secara proporsional dengan jumlah pembayarannya dan diperhitungkan
dengan PPN yang terutang pada saat dilakukan penyerahan.
Contoh :
- Harga
Jual kendaraan Bermotor Rp 165.000.000,- (termasuk PPN sebesar Rp 15.000.000,-
(10%))
- Uang
Muka diterima tanggal 10 Agustus 2000 sebesar Rp. 55.000.000,-
-
Kendaraan akan diserahkan tanggal 20 September 2000 dengan kekurangan bayar
sebesar Rp. 110.000.000,-
PPN
terutang dan harus dipungut :
- Pada
saat diterima uang muka tanggal 10 Agustus 2000, sebesar 10/110 x Rp
55.000.000,- = Rp 5.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPN bulan
Agustus 2000.
- Pada
saat penyerahan kendaraan tanggal 20 September 2000, sebesar 10/110 x Rp
110.000.000,- = Rp 10.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPN bulan
September 2000.
b.
Apabila atas penyerahan tersebut juga terutang PPn BM karena penyerahan dilakukan
oleh Pemungut PPn BM ("Pabrikan"), maka dalam pembayaran uang muka
yang diterima sebelum penyerahan kendaraan bermotor, terutang PPn BM disamping
terutang PPN.
12.
Contoh mekanisme pemungutan PPN dan PPn BM
a. Untuk
kendaraan impor dalam keadaan CBU :
1)
Importir Umum/Industri Perakitan/ATPM :
a) impor
:
- Nilai
Impor (DPP) : Rp. 200.000.000,-
- PPN
(10%) : Rp. 20.000.000,- (Pajak Masukan)
- PPn BM
(50%) : Rp. 100.000.000,-
------------------------
Harga
Impor : Rp. 320.000.000,-
b)
penyerahan :
- Harga
Jual (DPP) : Rp. 220.000.000,-
- PPN
(10%) : Rp. 22.000.000,- (Pajak Keluaran)
- PPn BM
(50%) : Rp. 100.000.000,- (butir 1.a)
------------------------
Harga
Penjualan : Rp. 342.000.000,-
2)
Distributor :
a)
Pembelian :
- Harga
beli (DPP) : Rp. 220.000.000,-
- PPN
(10%) : Rp. 22.000.000,- (Pajak Masukan)
- PPn BM
(50%) : Rp. 100.000.000,- (butir 1.a)
------------------------
Harga
Pembelian : Rp. 342.000.000,-
b)
penyerahan :
- Harga
Jual (DPP) : Rp. 240.000.000,-
- PPN
(10%) : Rp. 24.000.000,- (Pajak Keluaran)
- PPn BM
(50%) : Rp. 100.000.000,- (butir 1.a)
------------------------
Harga
Penjualan : Rp. 364.000.000,-
3) Dealer
:
a)
Pembelian :
- Harga
beli (DPP) : Rp. 240.000.000,-
- PPN
(10%) : Rp. 24.000.000,- (Pajak Masukan)
- PPn BM
(50%) : Rp. 100.000.000,- (butir 1.a)
------------------------
Harga
Pembelian : Rp. 364.000.000,-
b)
penyerahan :
- Harga
Jual (DPP) : Rp. 260.000.000,-
- PPN
(10%) : Rp. 26.000.000,- (Pajak Keluaran)
- PPn BM
(50%) : Rp. 100.000.000,- (butir 1.a)
------------------------
Harga
Penjualan : Rp. 386.000.000,-
4)
Sub-Dealer/Showroom :
a)
Pembelian :
- Harga
beli (DPP) : Rp. 260.000.000,-
- PPN
(10%) : Rp. 26.000.000,- (Pajak Masukan)
- PPn BM
(50%) : Rp. 100.000.000,- (butir 1.a)
------------------------
Harga
Pembelian : Rp. 386.000.000,-
b)
penyerahan :
- Harga
Jual (DPP) : Rp. 280.000.000,-
- PPN
(10%) : Rp. 28.000.000,- (Pajak Keluaran)
- PPn BM
(50%) : Rp. 100.000.000,- (butir 1.a)
------------------------
Harga
Penjualan : Rp. 408.000.000,- (yang dibayar konsumen)
b. Untuk
kendaraan impor dalam keadaan CKD atau produksi dalam negeri :
1)
Importir Umum/Industri Perakitan/ATPM :
a) impor
:
- Nilai
Impor (DPP) : Rp. 150.000.000,-
- PPN
(10%) : Rp. 15.000.000,- (Pajak Masukan)
- PPn BM
(-%) : Rp. -,-
------------------------
Harga
Impor : Rp. 165.000.000,-
b)
penyerahan :
- Harga
Jual (DPP) : Rp. 220.000.000,-
- PPN
(10%) : Rp. 22.000.000,- (Pajak Keluaran)
- PPn BM
(50%) : Rp. 110.000.000,-
------------------------
Harga
Penjualan Rp. 352.000.000,-
2)
Distributor :
a)
Pembelian :
- Harga
beli (DPP) : Rp. 220.000.000,-
- PPN
(10%) : Rp. 22.000.000,- (Pajak Masukan)
- PPn BM
(50%) : Rp. 110.000.000,- (butir 1.b)
------------------------
Harga
Pembelian : Rp. 352.000.000,-
b)
penyerahan :
- Harga
Jual (DPP) : Rp. 240.000.000,-
- PPN
(10%) : Rp. 24.000.000,- (Pajak Keluaran)
- PPn BM
(50%) : Rp. 110.000.000,- (butir 1.b)
-----------------------
Harga
Penjualan : Rp. 374.000.000,-
3) Dealer
:
a)
Pembelian :
- Harga
beli (DPP) : Rp. 240.000.000,-
- PPN
(10%) : Rp. 24.000.000,- (Pajak Masukan)
- PPn BM
(50%) : Rp. 110.000.000,- (butir 1.b)
------------------------
Harga
Pembelian : Rp. 374.000.000,-
b)
penyerahan :
- Harga
Jual (DPP) : Rp. 260.000.000,-
- PPN
(10%) : Rp. 26.000.000,- (Pajak Keluaran)
- PPn BM
(50%) : Rp. 110.000.000,- (butir 1.b)
------------------------
Harga
Penjualan : Rp. 396.000.000,-
4)
Sub-Dealer/Showroom :
a)
Pembelian :
- Harga
beli (DPP) : Rp. 260.000.000,-
- PPN
(10%) : Rp. 26.000.000,- (Pajak Masukan)
- PPn BM
(50%) : Rp. 110.000.000,- (butir 1.b)
-----------------------
Harga
Pembelian : Rp. 396.000.000,-
b)
penyerahan :
- Harga
Jual (DPP) : Rp. 280.000.000,-
- PPN
(10%) : Rp. 28.000.000,- (Pajak Keluaran)
- PPn BM
(50%) : Rp. 110.000.000,- (butir 1.b)
------------------------
Harga Penjualan
: Rp. 418.000.000,- (yang dibayar konsumen)
Catatan :
Pemungutan PPn BM dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-17/PJ.51/1999 tanggal 2
Nopember 1999 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-18/PJ.51/2000
tanggal22 Juni 2000.
14.
CONTOH PENGHITUNGAN PPN KENDARAAN BERMOTOR
(Harga
Jual On the Road)
1. Dealer
"B" menjual satu unit kendaraan bermotor dengan harga jual kepada
pembeli sebesar Rp 205.000.000 (termasuk PPN, PPn BM dan tidak termasuk Bea
Balik Nama) yang dibeli dari Main Dealer "A".
2. Atas
pembelian tersebut, Dealer "B" mendapat potongan harga dari Main
Dealer "A".
3. PPn BM
sebesar Rp 8.000.000,- sudah dipungut dan dilaporkan oleh Main Dealer
"A".
4.
Pengurusan balik nama kendaraan bermotor dilakukan oleh Main Dealer
"A" dan pembeli membayar Rp 18.000.000,- kepada Main Dealer
"A" melalui Dealer "B".
PENGHITUNGAN
DAN PELAPORAN PPN OLEH DEALER "B" ADALAH :
Harga
Jual Main Dealer "A" (On The Road) Rp 225.000.000,-
Potongan
harga untuk Dealer "B" Rp 4.000.000,-
-----------------------
Harga
Tebus Rp 221.000.000,-
Bea Balik
Nama (BBN) Rp 18.000.000,-
-----------------------
Harga
Beli Dealer "B" Rp 203.000.000,-
15.
Faktur Pajak (Off the Road) :
BELI JUAL
Dasar
Pengenaan Pajak (DPP) Rp 117.272.727,- Rp 186.363.636,-
PPN (10%)
Rp 17.727.273,- Rp 18.636.364,-
PPn BM
(15%) Rp 8.000.000,- Rp 8.000.000,-
-----------------------
-----------------------
JUMLAH Rp
203.000.000,- Rp 205.000.000,-
16.
Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak :
• BELI
100/110 X
(Rp 203.000.000,- Rp 8.000.000,-) = Rp 177.272.727,-
• JUAL
100/110 x
(Rp 205.000.000,- Rp 8.000.000,-) = Rp 186.363.636,-
17.
Perhitungan PPN Yang Harus Disetor Ke Kas Negara Oleh Dealer :
- PAJAK
KELUARAN (10% x Rp 186.363.636,-) = Rp 18.636.364,-
- PAJAK
MASUKAN (10% x Rp 177.272.727,-) = Rp 17.727.273,-
----------------------
PPN yang
harus disetor Rp 909.091,-
18.
CONTOH PENGHITUNGAN PPN DAN PPn BM KENDARAAN BERMOTOR
YANG
BERASAL DARI SASIS (DEALER SEBAGAI WAJIB PUNGUT PPn BM)
1. Dealer
"B" membeli sasis kendaraan bermotor dari Main Dealer "A"
seharga Rp 100.000.000,- dengan potongan harga sebesar Rp 2.000.000,- kemudian
menyuruh Karoseri "C" mengubah sasis tersebut menjadi kendaraan
bermotor angkutan orang dan kemudian menjualnya kepada pembeli dengan harga Rp
126.500.000 (termasuk PPN dan PPn BM).
2. PPn BM
sebesar Rp 15.800.000,- dipungut dan dilaporkan oleh Dealer "B",
sebagai pihak yang menyuruh melakukan pengubahan.
PENGHITUNGAN
DAN PELAPORAN PPN OLEH DEALER "B" ADALAH :
Harga
Jual Sasis Main Dealer "A" Rp 100.000.000,-
Potongan
harga untuk Dealer "B" Rp 2.000.000,-
-----------------------
Harga
Tebus/Beli Dealer "B" Rp 98.000.000,-
19.
Faktur Pajak (Off The Road) :
BELI JUAL
Dasar
Pengenaan Pajak (DPP) Rp 89.090.090,- Rp 101.200.000,-
PPN (10
%) Rp 8.909.091,- Rp 10.120.000,-
Dasar
Pengenaan Pajak (Karoseri "C") Rp 10.000.000,-
PPN -
Karoseri (10 %) Rp 1.000.000,-
PPn BM
(15 %) Rp -,- Rp 15.180.000,-
-----------------------
-----------------------
JUMLAH Rp
109.000.000,- Rp 126.500.000,-
20.
Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak :
- Beli
Sasis
100/110 X
Rp 98.000.000,- = Rp 89.090.909,-
- Jual
Kendaraan Bermotor
100/110 x
Rp 126.500.000,- = Rp 101.200.000,-
21.
Perhitungan PPN Dan PPn BM Yang Harus Disetor Ke Kas Negara Oleh Dealer :
1) PPN
- PAJAK
KELUARAN (10 % x Rp 101.200.000,-) = Rp 10.120.000,-
- PAJAK
MASUKAN (Rp 8.909.091 + Rp 1.000.000,-) = Rp 9.909.091,-
----------------------
PPN yang
harus disetor Rp 210.909,-
2) PPn BM
15 % x Rp
101.200.000,- = Rp 15.180.000,-
22. Contoh
:
- Harga
Jual kendaraan Bermotor Rp 250.000.000,- (termasuk PPN sebesar Rp 20.000.000,-
(10 %) dan PPn BM sebesar Rp 30.000.000,- (15%))
- Uang
Muka diterima tanggal 10 Agustus 2000 sebesar Rp. 25.000.000,-
-
Kendaraan akan diserahkan tanggal 20 September 2000 dengan kekurangan bayar
sebesar Rp. 225.000.000,- PPN dan PPn BM terutang dan harus dipungut :
- Pada
saat diterima uang muka tanggal 10 Agustus 2000 :
1) PPN :
sebesar 10/125 x Rp 25.000.000,- = Rp 2.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT
Masa PPN bulan Agustus 2000.
2) PPn BM
: sebesar 15/125 x Rp 25.000.000,- = Rp 3.000.000,- dan harus dilaporkan pada
SPT Masa PPn BM bulan Agustus 2000.
- Pada
saat penyerahan kendaraan tanggal 20 September 2000 :
1) PPN :
sebesar 10/125 x (Rp. 250.000.000,- Rp 25.000.000,-) = Rp 18.000.000,- dan
harus dilaporkan pada SPT Masa PPN bulan September 2000.
2) PPn BM
: sebesar 15/125 x (Rp 250.000.000,- Rp 25.000.000,-) = Rp 27.000.000,- dan
harus dilaporkan pada SPT Masa PPn BM bulan September 2000.
23.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku mulai tanggal 1 Agustus 2000.
24.
Dengan berlakunya ketentuan ini, maka ketentuan yang dimaksud dalam Surat-surat
Edaran sebelumnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Surat Edaran
ini, dinyatakan masih tetap berlaku.
KELOMPOK
BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH
SELAIN
KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
Tarif
(%) Jenis
Barang Kena Pajak
10
kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, dan pesawat
penerima siaran televisi;
kelompok
peralatan dan perlengkapan olah raga;
kelompok
mesin pengatur suhu udara;
kelompok
alat perekam atau reproduksi gambar, pesawat penerima siaran radio;
kelompok
alat fotografi, alat sinematografi, dan perlengkapannya;
20
kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, selain yang
dikenakan tariff 10%;
kelompok
hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan
sejenisnya;
kelompok
pesawat penerima siaran televisi dan antena serta reflektor antena, selain yang
dikenakan tariff 10%;
kelompok
mesin pengatur suhu udara, mesin pencuci piring, mesin pengering;
pesawat
elektromagnetik dan instrumen musik;
kelompok
wangi-wangian;
30
kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, kecuali untuk keperluan
negara atau angkutan umum;
kelompok
peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang dikenakan tariff 10%;
40
kelompok minuman yang mengandung alcohol;
kelompok
barang yang terbuat dari kulit atau kulit tiruan;
kelompok
permadani yang terbuat dari sutra atau wool;
kelompok
barang kaca dari kristal timbal dari jenis yang digunakan untuk meja, dapur,
rias, kantor, dekorasi dalam ruangan atau keperluan semacam itu;
kelompok
barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari logam mulia atau dari
logam yang dilapisi logam mulia atau campuran daripadanya;
kelompok
kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, selain yang dikenakan tarif
30%, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum;
kelompok
balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa
tenaga penggerak;
kelompok
peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara;
kelompok
jenis alas kaki;
kelompok
barang-barang perabot rumah tangga dan kantor;
kelompok
barang-barang yang terbuat dari porselin, tanah lempung cina atau keramik;
Kelompok
barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu selain batu jalan
atau batu tepi jalan;
50
kelompok permadani yang terbuat dari bulu hewan halus;
kelompok
pesawat udara selain yang dikenakan tarif 40%, kecuali untuk keperluan negara
atau angkutan udara niaga;
kelompok
peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang dikenakan tarif 10% dan tarif
30%;
kelompok
senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara.
75 kelompok
minuman yang mengandung alkohol selain yang dikenakan tariff 40%;
kelompok
barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu mulia dan/atau
mutiara atau campuran daripadanya;
kelompok
kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum."